Jumat, 04 Maret 2011

1 Maret

Tanggal 1, di bulan yang sama. 1 Maret 2010.

Pertama kalinya aku merasakan rasa yang berbeda pada seseorang.

Aku tak yakin itu apa. Yang jelas itu bukan kagum, karena tak ada yang pantas dikagumi darinya. Bukan juga nafsu, karena aku bahkan tak pernah bertemu dengannya. Dan juga bukan sayang adik pada kakaknya, karena aku cemburu jika tahu dia bersama orang lain.

Mungkin itu adalah cinta, entah aku tak tahu. Hanya saja rasa itu memberi semangat dan harapan serta energi positif bagiku.

Karena dia, yang suaranya tak pernah ku dengar, aku tak bisa tidur.
Karena dia, yang punya otak mesum, aku ingin menjadi lebih baik.
Karena dia, aku menangis.

Yah, itu cinta. My first love.

Saat ku sadar aku bukan siapa-siapa baginya sakit rasanya. Tapi aku bukan orang yang cengeng, menangisi semua hal yang seperti itu. Hanya saja aku merasa hampa.

1 tahun 4 hari berlalu.
Sedikit demi sedikit aku melupakannya, sulit memang. Aku berusaha menyukai orang lain, tapi ku tahu itu bukan cinta, tapi hanya kagum. Kagum pada semangat, kepintaran, dan kebaikan mereka. Bukan rasa seperti yang kurasakan padanya.

Pelan tapi pasti, pada akhirnya nanti akan datang DIA yang sebenarnya.

Dan my first love, nantinya akan menjadi kenangan indah dalam hati, pikiran dan perasaan ku.

Rabu, 02 Maret 2011

Kesadaran, Tanggung Jawab dan Keikhlasan

          Jika aku berangkat pagi pagi ke sekolahku dan sampai di sekolah lebih awal maka aku akan mendapatkan ruang kelas X.1, kelas yang telah ku tempati selama 7 bulan terakhir ini sangat kotor dan berantakan. Seperti pagi ini.
          Aku datang lebih pagi karena hari ini di sekolah akan diadakan peringatan maulid nabi Muhammad SAW. Saat memasuki di sana hanya ada dua orang teman ku. Aku menghela nafas seperti yang ku perkirakan sebelummya kelas pasti kotor. Aku lalu berjalan ke arah bangku ku dan menunggu teman-teman ku yang lain.
          Jam telah menunjjukan pukul 7.15 WITA dan kelas telah penuh dengan teman sekelasku. Kemudian aku memandang sekeliling tak ada seorang pun yang bergerak membersihkan kelas. Aku berjalan ke arah meja guru, di dinding belakang meja itu terpampang daftar piket kebersihan kelas ku aku kemudian memandang nama-nama yang terpampang di sana, sebagai ketua kelas aku mulai meneriaki teman ku yang bertugas hari ini agar segera membersihkan kelas. Dan coba tebak, tak seorang pun menanggapi teriakanku, aku menghela nafas dan mendekati mereka satu persatu. Aku kemudian membujuk mereka, dengan segala cara yang kulakukan aku membujuk mereka dengan lemah lembut untuk membersihkan kelas dan bukannya mengambil sapu dan membersihkan kelas mereka malah mengacuhkan ku dan menyuruh orang lain. Kemudian, ku datangi ia, teman dekat ku di kelas ini. Ku bujuk dia untuk membersihkan kelas karena hari ini adalah tugas piketnya, belum selesai aku bicara ia menyuruhku untuk menyuruh orang lain dan bukan ia, karena pada hari sebelum-sebelumnya ia telah membersihkan kelas dan menurutnya tidak adil jika hanya dia yang terus aku suruh untuk menyapu kelas sedangkan yang lain tidak.
          Mendengar perkataannya aku terhenyak. Aku lalu pergi darinya dan mengambil sapu lalu menyapu kelas kotor ini, walau hari ini bukan tugas piket ku, akan tetapi sebagai ketua kelas aku juga merasa bertanggung jawab. Sambil menyapu aku memikirkan tentang kurangnya kesadaran teman-teman sekelas ku menegenai kesadaran dan tanggung jawab. Mereka hanya ingin mengerjakan kewajiban mereka jika dipaksa atau diadukan pada guru jika tak mengerjakannya dan bukan atas kesadaran sendiri. Aku merasa miris pada tingkah laku teman-teman kelas ku. Tak ada sedikit pun kesadaran mereka tentang pentingnya kebersihan itu, padahal sekolah yang kami tempati belajar saat ini adalah salah satu sekolah yang mengajarkan tentang hidup bersih setiap harinya dan juga sekolah yang terkenal dengan kebersihannya yang patut di contoh oleh sekolah lain di kota ini. Tetapi, menurutku yang paling penting adalah bagaimana menjalankan tanggung jawab yang telah diberikan kepada kami untuk mengelola kelas kami agar terlihat rapi dan bersih.
          Setelah beberapa menit menyapu aku mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Beberapa teman yang dari melihatku menyapu dalam diam, membantuku membersihkan kelas ini, mungkin karena mereka kasihan melihatku, merasa bersalah, atau merasa tak enak membiarkanku menyapu sendiri, dan tak lama teman dekat ku yang tadi juga mengambil sapu dan mulai menyapu, aku diam-diam tersenyum melihatnya. Tapi senyum itu tak berlangsung lama. Lima menit kemudian ia dan beberapa teman ku yang lainnya menghentikan kegiatannya dan pergi entah kemana. Ku lihat ia, teman ku buru-buru duduk di bangkunya dan mengeluh kelelahan karena telah menyapu satu baris bangku. Aku kemudian berjalan menuju bangku ku yang tadi telah di sapu olehnya dan ku lihat masih terdapat banyak sampah dan kotoran di sana. Aku lalu kembali menyapu area yang belum bersih itu dan area lainnya sampai bersih.
Dari sanalah aku dapat menyimpulkan bahwa walaupun kita mengerjakan sesuatu yang telah menjadi tanggung jawab kita akan tetapi tak ada keikhlasan dalam mengerjakannya maka hasil yang didapatkan tidak akan pernah mambuahkan hasil yang baik pula.
         Dan pelajaran yang dapat kita petik adalah harusnya mulai dari sekarang kita bisa mulai menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab untuk mengerjakan kewajiban kita dan bukan karena ingin di puji oleh orang lain atau karena takut akan hukuman yang kita terima jika tidak mengerjakannya dan disertai dengan keikhlasan dalam mengerjakannya jika menginginkan hasil dari pekerjaan yang kita lakukan itu menghasilakan sesuatu yang baik

Kesepian, Rasa Rindu dan Kebimbangan

Kesepian telah mengajariku akan banyak hal, Seperti menangis dan tertawa diantara ketakutan dan keberanian.
Dan rasa rindu mengajarkanku tentang kesabaran dalam penantian.
Sedangkan kebimbangan banyak mengajarkanku tentang curiga, cemburu, bahkan percaya.
Saat kita terpisah jauh memasuki sepi dan kesendirian kau sangat berarti bagiku.
Tetapi, akan menjadi arti yang sesungguhnya bagiku adalah jika kita bertemu. 

Pemotongan Angka Nol pada Uang

         Saat mendengar teman sekelas ku berbincang-bincang tentang pemotongan angka nol pada uang aku langsung tertarik untuk mengetahui topik itu lebih dalam.
Akhirnya aku bertanya pada guru Ekonomi di sekolah ku, dan beliau menanggapi bahwa hal itu, pemotongan angka nol pada uang bukan hanya sebuah isu, akan tetapi adalah wacana yang sedang hangat-hangatnya dibahas oleh pemerintah. Katanya, pemerintah merencanakan memotongan tiga angka nol pada setiap nilai uang yang beredar. Jadi, jika hal ini terjadi maka uang 100.000 rupiah akan menjadi 100 rupiah, uang 10.000 rupiah akan menjadi uang 10 rupiah dan seterusnya. Dan tidak seperti pemotongan nilai yang diakibatkan oleh inflasi yang di kenal pula dengan istilah sanering (klik di sini untuk mengetahui lebih dalam tentang sanering). Alasan pemotongan angka nol ini semata-mata hanya karena untuk memudahkan kegiatan akuntansi.
         Akan tetapi, untuk mewujudkan hal ini, pemerintah menghadapi beberapa kendala, seperti jika pemotongan ini berlaku maka masyarakat akan kesulitan menjual atau membeli barang dalam bentuk eceran dan akan mengakibatkan pedagang asongan yang ada tidak akan bisa melanjutkan usahanya serta dalam membayar angkutan umum sebagai sarana transportasi juga akan mengalami kesulitan. Akan tetapi, dengan diadakannya sosialisasi kepada masyarakat, besar kemungkinan wacana ini akan segera dapat diterapkan dalam waktu dekat.

Sanering

         Sanering adalah upaya penyehatan kondisi keuangan negara melalui kebijakan pembaruan nilai uang (biasanya berupa pemotongan nilai), hal tersebut diikuti dengan penarikan uang yang sedang berlaku dan menggantikannya dengan uang baru. Dalam sejarah moneter Indonesia tercatat bahwa pemerintah telah empat kali menempuh kebijakan sanering, yakni pada tahun 1946, 1950, 1959, dan 1965.
          Sanering pada tahun 1965 dilatarbelakangi dengan kondisi perekonomian yang sangat buruk. Pada saat itu, laju inflasi mencapai 650%, pendapatan perkapita hanya 80 $AS, dan harga-harga sangat mahal karena langkanya barang kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, kebutuhan pemerintah akan dana untuk melaksanakan kegiatan politiknya juga besar.
          Sanering tahun1965 dilaksanakan dengan penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965. Pemerintah pada waktu itu mulai mengedarkan uang baru dengan nilai 1 : 1.000, yaitu setiap 1.000 rupiah uang lama digantikan dengan 1 rupiah baru. Penukaran tersebut secara resmi didebani iuran revolusi sebesar 10%. Jadi, tiap 10.000 rupiah uangakan diganti dengan 9 rupiah uang baru.